Sebagai makhluk Allah, kita harus mengarahkan hidup kita untuk menjadi manusia yang bertaqwa, karena dengan ketaqwaan kita akan menjadi hamba yang dapat hidup bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Ketaqwaan kita kepada Allah dapat mengarahkan kehidupan kita menuju jalan yang benar, jalan yang lurus, sehingga kita terhindar dari berbagai masalah kehidupan. Ketaqwaan menjadikan hati kita menjadi tenang, pikiran kita menjadi positif, sehingga selalu berbaik sangka terhadap semua takdir Allah. Ketaqwaan juga merupakan bekal terbaik ketika di akhirat nanti. Itulah alasan mengapa kita harus selalu menjaga dan meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah, dengan selalu istiqamah menjalankan semua perintahNya, baik perintah untuk menjalankan kewajiban maupunperintah untuk meninggalkan laranganNya.
Dalam surat Taha 132 Allah berfirman:
وَأۡمُرۡ أَهۡلَكَ بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱصۡطَبِرۡ عَلَيۡهَا ۖ لَا نَسۡـَٔلُكَ رِزۡقًا ۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكَ ۗ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلتَّقۡوَىٰ
“dan perintahkanlah kepada keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rejeki kepadamu, Kamilah yang memberi rejeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang orang yang bertaqwa”
Ayat ini menjelaskan tentang perintah kepad kita semua, sebagai kepala keluarga, untuk mengajak anggota keluarga untuk melaksanakan salat. Mengajak berarti menjadi contoh, sehingga sebelum mengajak salat maka kita harus menjadi orang yang menegakkan salat terlebih dahulu. Mengajak keluarga untuk melaksanakan salat juga harus dilakukan dengan sabar, tidak boleh bosan apalagi putus asa. Mengajak keluarga untuk melaksanakan salat adalah bagian dari melaksanakan kewajiban untuk melindungi keluarga dari siksa neraka. Sebagaimana firman Allah dalam surat At Tahrim ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”
Pada lafaz selanjutnya, Allah melanjutkan dengan pernyataan لَا نَسۡـَٔلُكَ رِزۡقًا ۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكَ bahwa ketika kita melaksanakan salat, maka kita tidak perlu mengkhawatirkan rejeki kita, karena Allah sudah menjaminnya. Hal ini sesuai janji Allah dalam Surat at Talaq ayat 2-3, yaitu:
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”
Ayat tersebut ditutup dengan lafaz وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلتَّقۡوَىٰ yang menjadi tujuan akhir, yaitu akibat yang baik di dunia dan di akhirat hanyalah bagi orang yang bertaqwa.
Ayat di atas menjelaskan hubungan antara kualitas salat, sabar dan kualitas rejeki. Jika kita menjelaskan hubungan dari aspek prioritas, maka salat adalah kewajiban utama yang harus dilakukan dengan sabar, dan itu berdampak pada rejeki kita. Jika kita menjelaskan hubungan dari aspek sebab akibat, maka kualitas rejeki kita tergantung bagaimana kualitas salat dan kesabaran kita melaksanakannya. Inilah poin penting yang menjadi alat untuk muhasabah diri kita, apakah selama ini ketika sedang mencari rezeki kita melupakan kewajiban kita kepada Allah? Sehingga kehidupan ekonomi kita selalu bermasalah. Ataukah kita sudah melaksanakan salat tetapi belum mengajak seluruh anggota keluarga kita untuk bersama-sama menegakkannya.
Di dalam kitab Al Hikam, Imam Ibnu Atha’illah as Sakandary menuliskan hikmah:
اجتهادك فيما ضمن لك, وتقصيرك فيما طلب منك, دليل على انطماس البصيرة منك
“Kesungguhanmu pada apa apa yang telah Dia jamin bagimu, dan kelalaianmu pada apa apa yang Dia tuntut darimu, merupakan bukti atas lenyapnya bashirah darimu”
Secara sederhana maksud dari hikmah di atas adalah siapa saja yang disibukkan mencari sesuatu yang telah dijamin oleh Allah dan meninggalkan hal hal yang diperintahkan oleh Allah, maka itu adalah tanda orang yang buta mata hatinya.
Hikmah ini menyadarkan kita bahwa seringkali kita terlalu bersemangat mendapatkan sesuatu (materi atau uang misalnya) sehingga kita lalai atau lupa mengerjakan ibadah. Fenomena yang sering kita temukan misalnya, banyak orang yang bekerja tanpa kenal waktu, karena menginginkan hasil yang banyak. Ketika bekerja, dia meninggalkan salat yang menjadi kewajibannya, ketika mendapatkan penghasilan, dia tidak membayar zakat yang menjadi kewajibannya. Maka orang orang yang seperti inilah orang yang buta hatinya. Dia tidak mampu melihat mana yang hakikat dan mana yang bukan.
Hakikat kita bekerja adalah mengharap ridha Allah bukan mencari materi sebanyak banyaknya. Maka jika kita meniatkannya begitu, selama bekerja kita tidak akaan meninggalkan kewajiban kita sebagai hambaNya. Jika kita bekerja dengan meninggalkan perintah Allah, maka belum tentu hasilnya banyak tetapi sudah pasti kita tidak mendapatkan ridhaNya. Jika kita bekerja dengan tetap melaksanakan perintah, maka materi dan ridha akan kita dapatkan secara bersamaan. Rejeki adalah sesuatu yang pasti, maka jangan kita risaukan, apalagi jika mengejarnya sampai meninggalkan perintah Allah.
Oleh karena itu, ada tiga hal penting yang harus kita perhatikan: pertama, Sesuatu yang dijamin oleh Allah (seperti rejeki) maka jangan pernah merisaukan atau mengkhawatirkan, apalagi bersu’uzzon kepada Allah. Allah sudah menjamin rejeki bagi setiap makhluk yang ada di bumi, tetapi berapa bagian masing masing adalah rahasia Allah. Kedua, Sesuatu yang dituntut oleh Allah (kewajiban/perintah) kepadamu, maka jangan diabaikan atau ditinggalkan. Setiap perintah yang diwajibkan kepada manusia pada hakikatnya adalah untuk jaminan kebaikan hidupnya. Ketiga, Prioritaskan apa yang dituntut oleh Allah terlebih dahulu, jangan sampai karena ingin mengejar sesuatu yang sudah dijamin kita melalaikan perintah Allah. Ini adalah kebodohan yang luar biasa, dan tanda bahwa kita buta hati, tidak dapat melihat kebenaran yang sejati.
Manusia yang mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan hidup adalah manusia yang mampu melihat mana yang haq dan mana yang bathil. Janji dan jaminan Allah adalah sesuatu yang haq, sehingga harus dinomorsatukan. Jangan sampai karena dorongan ingin mendapatkan sesuatu yang materiil membuat kita kehilangan sesuatu yang hakiki. Bekerja yang profesional adalah bekerja dengan tetap mentaati segala aturan yang berlaku, terutama aturan dari Allah swt.
Leave a Reply